Mendidik

MELEGALKAN KHAMR, MENGUNDANG DHARAR

MELEGALKAN KHAMR, MENGUNDANG DHARAR



Replies: 0

By: admin





Ketua MPR Zulkifli Hasan, saat berbicara pada acara Tanwir I Aisyiyah di Universitas Muhammadiyah Surabaya, mengungkapkan bahwa terdapat delapan partai di DPR yang setuju minuman keras (miras) dijual bebas. “Sekarang ini sudah ada delapan partai politik di DPR RI yang menyetujui minuman keras dijual di warung-warung,” ucap Zulkifli sebagaimana dilansir Antara, Sabtu (20/1).

Namun demikian, Ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol DPR RI, Arwani Thomafi, membantah pernyataan Zulkifli Hasan tersebut. Menurut Arwani, pihaknya masih melakukan pembahasan RUU ini. Menurut dia, semua fraksi dan Pemerintah secara bulat setuju untuk melarang penjualan minuman beralkohol di tempat-tempat bebas. “Saya tegaskan seluruh fraksi dan Pemerintah sepakat untuk menertibkan penjualan minuman beralkohol,” tandas Arwani (news.okezone.com, 21/1/2018).

Meski sudah dibahas dalam Pansus sejak Juli 2015, masih ada hal-hal yang masih diperdebatkan. Di antaranya adalah soal nomenklatur penamaan judul. Fraksi PPP, Fraksi PKS DAN Fraksi PAN tetap setuju dengan judul awal yaitu RUU Larangan Minuman Beralkohol. Fraksi PDIP, Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura dan Fraksi NasDem setuju dengan judul RUU Pengendalian dan Pengawasan Miuman Beralkohol. Pemeritah juga setuju dengan judul ini. Dua fraksi lainnya, yaitu Fraksi Golkar dan Fraksi PKB, mengusulkan judul tanpa embel-embel “larangan” dan “pengendalian dan pengawasan”. Tampaknya, jalan keluar kompromi akan tercapai dengan menghilangkan kata larangan dari judul RUU tersebut.

Perubahan itu tentu akan membawa perubahan mendasar. Yang sebelumnya berupa pelarangan akan berubah menjadi sekadar pengendalian dan pengaturan.  Dengan begitu pasal-pasal dalam draft awal RUU yang melarang setiap orang untuk mengedarkan, menjual dan mengonsumsi minuman beralkohol (minol) akan berubah menjadi membolehkan setiap orang untuk menjual dan memproduksi minol dengan syarat tertentu. Misalnya, dalam Pasal 8 dinyatakan, “Setiap orang yang memproduksi minuman beralkohol wajib memiliki izin usaha industri.”

Pasal tentang konsumsi minol yang dalam draft awal dilarang tampaknya juga akan berubah menjadi dibolehkan asal tidak berlebihan. Dalam Pasal 7 draft awal RUU disebutkan, “Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol campuran atau racikan.” Pasal ini akan berubah menjadi “Setiap orang dilarang mengonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan atau terus-menerus sehingga menimbulkan ketergantungan.”

Dengan demikian, berdasarkan hasil pembahasan sejauh ini tampak bahwa minol atau miras tidak akan dilarang secara mutlak, tetapi hanya dikendalikan, diatur dan diawasi saja peredarannya. Tegasnya, kata Ketua Pansus RUU Minol Arwani Thomafi, RUU Minol tidak akan menutup pabrik-pabrik yang memproduksi minuman keras. RUU ini hanya mengatur distribusi dan konsumsi minol agar tidak di sembarang tempat, yang bisa membahayakan anak-anak.

Tampaknya RUU Minol tidak akan jauh dari pengendalian dan pengaturan distribusi minol yang ada dalam peraturan yang ada saat ini, yaitu Perpres No. 74/2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol yang disahkan 6-12-2013. Alasan ekonomi tampaknya menjadi salah satu yang ada di balik semua itu, yakni untuk mempertahankan pemasukan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) dan cukai etil alkohol. Sebagaimana diketahui, pemasukan negara dari cukai MMEA sebesar Rp 6,4 triliun (target RAPBN 2016). Bila dibandingkan dengan cukai etil alkohol (bila tidak diproduksi sebagai minol) cukainya hanya Rp 171,2 miliar. Besaran cukai MMEA ini melonjak bila dibandingkan dengan tahun 2013 (Rp 4,6 triliun) dan 2014 (Rp 5,3 triliun). Pada tahun 2018 ini Pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai etil alkohol sebesar Rp 170 miliar dan dari cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) sebesar Rp 6,5 triliun (kontan.co.id, 2/11/2017).

Selain alasan penerimaan, juga ada alasan investasi. Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Willem Petrus Riwu, mengatakan RUU minuman beralkohol harus disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara investasi yang sudah ada dan kemungkinan penyalahgunaan produk tersebut. Menurut dia, “Investasi yang sudah ada tentu tidak bisa disudahi begitu saja.”

Hal itu sejalan dengan apa yang diinginkan oleh para pengusaha minol. Mereka menginginkan tidak ada pelarangan minuman beralkohol. Mereka mendukung sikap Pemerintah untuk mengatur dan mengawasi saja peredaran minuman keras. Anggota Komite Eksekutif Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), Ronny Titiheruw, berharap RUU ini hanya berisi pengawasan dan pengaturan minol. “Dengan berisi pengawasan dan pengaturan minol, UU tersebut akan memenuhi tujuan pengawasan, tetapi tidak mematikan industri resmi minol,” ujarnya (bisnis.com, 21/10/17).

Mengundang Dharar  

Jika RUU di atas benar-benar disahkan, berarti Pemerintah dan DPR memberikan legalitas dan jaminan kepastian hukum bagi produksi, distribusi, penjualan dan konsumsi miras. Padahal melegalkan peredaran miras, apapun alasannya, sama saja dengan mengundang bahaya (dharar) besar bagi masyarakat. Fakta-fakta yang ada jelas membuktikan bahwa miras menjadi sumber berbagai kejahatan dan kerusakan seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, kecelakaan dan kejahatan lain yang nyata-nyata terjadi akibat pelakunya dalam pengaruh minuman keras.

Apalagi pelegalan produksi, distribusi, penjualan dan konsumsi miras jelas menyalahi syariah. Islam tegas mengharamkan miras. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾

Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah semua itu agar kalian beruntung (TQS al-Maidah [5]: 90).


Rasul saw. menjelaskan bahwa semua minuman (cairan) yang memabukkan adalah khamr dan khamr itu haram baik sedikit maupun banyak:

«كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»

Semua yang memabukkan adalah khamr dan semua khamr adalah haram (HR Muslim).

«مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»

Apa saja (minuman/cairan) yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya adalah haram (HR Ahmad dan Ashhâb as-Sunan).


Harus Dibabat Habis

Karena itu khamr harus dibabat habis dari masyarakat. Hal itu bisa dipahami dari laknat Rasulullah saw. terhadap 10 pihak terkait khamar:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمشْتَرِي لَهَا، وَالمشْتَرَاةُ لَهُ»

Rasulullah saw. telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).


Hadis ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak itu telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah. Peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. menuturkan:

«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَضْرِبُ فِي الخَمْرِ باِلجَرِيْدِ وَالنَّعَالِ أَرْبَعِيْنَ»

Nabi Muhammad saw. pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).


Ali bin Abi Thalib ra. juga menuturkan:

«جَلَّدَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَرْبَعِيْنَ، وَأبُو بَكْرٍ أَرْبَعِيْنَ، وعُمَرُ ثَمَانِيْنَ، وَكُلٌّ سُنَّةٌ، وهَذَا أحَبُّ إِليَّ»

Rasulullah saw. pernah mencambuk (peminum khamar) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai (HR Muslim).


Adapun pihak selain peminum khamr dikenai sanksi ta’zîr, yakni hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera. Produsen dan pengedar khamr selayaknya dijatuhi sanksi yang lebih keras dari peminumnya karena keberadaan mereka lebih besar dan lebih luas bahayanya bagi masyarakat.

Dengan syariah seperti itu, masyarakat akan bisa diselamatkan dari ancaman yang timbul akibat khamr atau miras. Semua itu hanya akan terwujud jika syariah diterapkan secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di dalam sistem Khilafah Rasyidah, sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi saw., serta dipraktikkan oleh para sahabat dan generasi kaum Muslim setelah mereka. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Rasul saw. bersabda:

«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ وَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ يَقْبَلِ اللَّهُ مِنْهُ صَلاَةً أَرْبَعِينَ يَوْمًا فَإِنْ مَاتَ وَهِىَ فِى بَطْنِهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

Khamr itu adalah induk segala keburukan. Siapa saja yang meminum khamar, Allah tidak menerima shalatnya selama 40 hari. Jika peminum khamr mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliah (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Qudha’i).


sumber : [Buletin Kaffah No. 27, 23 Jumada al-Ula 1439 H – 9 Februari 2018 M]

Labels: tsaqafah


Penguasa, Stop Kriminalisasi Sistem Pemerintahan islam

Penguasa, Stop Kriminalisasi Sistem Pemerintahan islam



Replies: 0

By: admin






Oleh : Winny Arliyanti


Ramai menjadi perbincangan mengenai keberanian mahasiswa yang memberikan 'kartu kuning' kepada Presiden Jokowi. Sayangnya, Presiden kontroversial tersebut tidak mangajak bicara dan diskusi seperti yang sudah-sudah, ia malah menghindar. Jauh panggang dari api, rakyat malah akan dihadapkan dengan pasal pidana bagi penghina presiden walaupun tanpa aduan. Tak heran presiden  semakin jelas mengukuhkan predikatnya sebagai rezim otoriter yang anti kritik. Sudah lelah dengan semua yang terjadi, mahasiswa dan berbagai kalangan menyampaikan bahwa tidak menutup kemungkinan akan memberikan 'kartu merah' yang artinya akan menggiring pada reformasi dua. Cukuplah semua fakta kerusakan sistem demokrasi ini, tidak perlu reformasi lagi tapi kita revolusi sekalian.


Beberapa tahun ini kita juga disuguhkan jargon-jargon yang tidak sesuai dengan faktanya. Ada mereka yang teriak-teriak "NKRI harga mati" dan "Pancasila & UUD 1945 sudah final", mereka mengaku paling pancasilais dan toleran tapi faktanya mereka yang korupsi, mereka yang membiarkan gerakan separatis, mereka yang menjual aset negara kepada swasta (asing & aseng), mereka yang melakukan persekusi. Mereka pun orang yang sama yang menjadi pendukung penista agama dan anti dengan penerapan syariah Islam secara kaffah.


Tidakkah kita sadari bahwa negeri ini kerap mengalami perubahan? Pancasila dan UUD 1945 sendiri mengalami perubahan yang tidak sekali dua kali saja. Begitu pun dengan NKRI yang juga sudah tidak utuh dengan terpisahnya Timor Timur yang kini menjadi Timor Leste serta adanya beberapa pulau kecil yang ternyata sudah dijual oleh penguasa. Dan masih seabrek masalah yang menimpa bangsa ini. Apakah ini yang diharapkan bangsa Indonesia?


Dulu sebelum ada pilkada, kepala daerah dipilih oleh presiden. Sebelum ada pemilu langsung untuk presiden, maka presiden dipilih oleh DPR atas persetujuan MPR. Dulu camat, lurah, dan kades adalah jenjang karir juga bagi PNS, tapi sekarang menggunakan pemilu. Ternyata perubahan selalu terjadi di semua lini. Namun, mengapa ketika ada yang menyodorkan sistem yang berasal dari Sang Pencipta yaitu sistem pemerintahan Islam 'Khilafah' yang kini mulai dipahami oleh umat Islam langsung ditolak dan malah dikriminalisasi? Jika kita bangsa yang cerdas dan terbuka dengan pemikiran, maka janganlah menolak begitu saja tapi mari kita uji secara empirik.


Sejatinya mereka yang langsung menolak tanpa mencari tahu apalagi meneliti dan melakukan pengujian adalah orang yang ketakutan syahwatnya terancam atau mereka memang senang memelihara kebodohannya sehingga tidak mau diajak diskusi dengan pemikiran dan gagasan baru. Sesungguhnya sistem buatan manusia pasti akan bathil karena hanya akan mengakomodir kepentingan segelintir manusia saja, maka hanya sistem yang berasal dari Sang Penciptalah yang akan memberikan kebaikan dan keuntungan kepada semua umat manusia karena Dia Yang Maha Tahu atas ciptaan-Nya. Wallahu a'lam.

Labels: opini


TAHUN DUKA DAN KESABARAN

TAHUN DUKA DAN KESABARAN



Replies: 0

By: agus asnafi





Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Bulan Rajab tahun 10 kenabian [Syah Najib Abadi, Tarikh Islam, juz I/120], setelah enam bulan meninggalkan pemboikotan di Syi’b Abi Thalib, Abu Thalib sakit keras hingga meninggal dunia [Abdullah an-Najadi, Mukhtashar as-Sirah, hal. 111]. Ada yang mengatakan, bahwa Abu Thalib meninggal dunia di bulan Ramadhan, tiga hari sebelum wafatnya Khadijah radhiya-Llahu ‘anha [Mubarakfuri, ar-Rahiq al-Makhtum, 115].

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, disebutkan, ketika Abu Thalib menjelang wafat, Nabi SAW masuk ke rumahnya. Di sana sudah ada Abu Jahal. Baginda SAW berusaha menuntunnya, “Wahai Paman, ucapkanlah “La ilaha illa-Llah.” Kata, yang dengannya, aku bisa gunakan sebagai hujah untuk meringankanmu di hadapan Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah, “Wahai Abu Thalib, kamu membenci agama Abdul Muthallib?” Keduanya terus meneror Abu Thalib dengan kata-kata, hingga akhirnya Abu Thalib mengucapkan kata-kata, “Tetap mengikuti agama Abdul Muthallib.”

Nabi SAW pun berucap, “Kalau begitu, aku akan memintakan ampunan untukmu, selama aku tidak berhasil mencegahmu.” Saat itulah, Allah SWT menurunkan firman-Nya, “Tidak layak bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan untuk orang musyrik, sekalipun mereka adalah kerabat dekat, setelah tampak bagi mereka, bahwa mereka [orang musyrik] itu adalah penghuni neraka Jahim.” [TQS at-Taubah: 113] Allah SWT juga menurunkan ayat lain, “Sesungguhnya, Engkau tak akan pernah bisa memberikan hidayah kepada siapa saja orang yang Engkau cintai.” [TQS 28: 56] [Lihat, Shahih al-Bukhari, Juz I/548]

Setelah dua atau tiga bulan Abu Thalib wafat, Ummil Mukminin, Khadijah al-Kubra, radhiya-Llahu ‘anha, wafat menghadap Allah. Beliau wafat di bulan Ramadhan, tahun 10 kenabian. Usianya ketika itu 65 tahun. Rasulullah SAW sendiri saat itu usianya 50 tahun [Lihat, Ibn al-Jauzi, at-Talqih, hal. 7; al-Manshur Fauri, Rahmatan li al-‘Alamin, Juz II/164].

Khadijah menikah dengan Nabi SAW saat usianya 40 tahun, sedangkan Nabi SAW berusia 25 tahun. Khadijah sendiri saat itu berstatus janda dari dua mantan suami sebelumnya. Beliau adalah wanita yang cantik, terpandang dan kaya raya. Allah memilihnya menjadi pendamping Nabi SAW di saat-saat sulit, karena kematangannya. Beliau telah mendampingi Nabi SAW sejak sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, atau selama 15 tahun. Ditambah, 10 tahun berikutnya, setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Jadi, tidak kurang dari 25 tahun, beliau mendampingi Nabi dalam suka dan duka, selama masih di Makkah.

Dalam kitab Khatam an-Nabiyyin, karya Samih ‘Athif az-Zain, disebutkan, saat menikahi Khadijah, Nabi SAW tidak mempunyai apa-apa, karena memang miskin. Tetapi, Khadijah yang diwakili pamannya, Waraqah bin Naufal, menerimanya bukan karena kekayaannya, tetapi karena nasab dan kepribadiannya. Begitu menikah dengan Nabi SAW seluruh kekayaannya diserahkan kepada Nabi. Nabi SAW menggunakan kekayaannya itu, antara lain, untuk menghidupi Ali bin Abi Thalib di rumah Khadijah. Akhlak Khadijah begitu luar biasa, hingga tak sanggup meninggikan suara, apalagi membantah titah suaminya.

Saat Nabi SAW menyendiri di Gua Hira’, dengan setia, Khadijah menemani dan mengirimkan makanan, minuman dan keperluan Nabi. Beliau berjalan dari rumahnya, dan mendaki Jabal Nur yang curam dan cadas, saat usianya tak lagi muda, sekitar 50 tahun. Ketika pertama kali mendapatkan wahyu, saat Nabi SAW menggigil ketakutan, Khadijah memeluk dan menyelimutinya, hingga baginda SAW tertidur di pangkuannya. Saat Nabi SAW mengalami penyiksaan, bahkan pemboikotan, Khadijah dengan setia mendampinginya. Begitulah pribadi Khadijah, namanya terpatri di langit, sampai Allah dan Jibril pun mengirimkan salam khusus kepadanya, dan membangunkan rumah untuknya di surga [Lihat, Shahih al-Bukhari, Juz I/539].

Pendek kata, Khadijah benar-benar nikmat Allah yang agung untuk Nabi SAW Khadijah adalah cinta pertama Nabi, dan tetap ada di hatinya, meski beliau telah tiada. Nabi pun tak sanggup melupakannya, hatta setelah wafatnya. Nabi SAW menuturkan, “Dia telah mengimaniku saat orang-orang mengingkariku. Dia telah membenarkanku, saat orang-orang mendustakanku. Dia menyertaiku dengan hartanya, ketika orang-orang meninggalkanku. Aku dianugerahi Allah putra dari rahimnya, sementara tidak dengan istri yang lainnya.” [Lihat, Ahmad, Musnah Ahmad, Juz VI/118]

Dua orang yang begitu luar biasa mengisi lembaran hidup Nabi SAW pergi meninggalkan baginda SAW di tahun yang sama, pada saat yang hampir bersamaan. Tahun itu, benar-benar merupakan tahun duka, kesedihan dan kesabaran. Meski baginda SAW mempunyai kesabaran yang luar biasa, tetapi tetap saja kepergian dua orang yang luar biasa dalam hidup baginda itu tetap saja meninggalkan kesedihan yang mendalam.

Setelah peristiwa itu, ujian demi ujian yang semakin berat menghampiri Nabi SAW. Kaum kafir Quraisy yang sebelumnya masih agak menahan diri terhadap Nabi SAW berubah menjadi berani setelah kepergian Abu Thalib. Belum sirna luka dan duka karena kepergian dua orang yang dicintainya, luka dan duka Nabi SAW harus bertambah. Nabi SAW pun tampak tak lagi bisa berharap kepada mereka, karena seolah semua jalan sudah buntu. Saat itulah, baginda SAW keluar ke Thaif, yang jaraknya dari Makkah kurang lebih 150 km. Dengan harapan, penduduk Thaif, khususnya Bani Tsaqif, bersedia memenuhi seruan dakwah baginda SAW Atau minimal bersedia membantu dan menolongnya terhadap kaumnya, tetapi ternyata tak ada seorang pun yang membantu dan menolongnya. Justru sebaliknya, mereka malah menganiaya Nabi SAW dengan luar biasa. Tubuh baginda SAW pun berdarah-darah.

Di Thaif, Nabi SAW berusaha mendekati Bani Tsaqif, kurang lebih selama sebulan. Memikirkan cara dan strategi yang jitu untuk menaklukkan hati Bani Tsaqif. Namun, ikhtiar baginda SAW tidak membuahkan hasil. Akhirnya, baginda SAW kembali dengan luka yang terus mengucurkan darah. Duka semakin bertambah, dengan penolakan dan penganiayaan yang dilakukan Bani Tsaqif kepada Nabi SAW Di Wadi Nakhlah, Nabi SAW beristirahat, ditemani putra angkatnya, Zaid bin Tsabit. Di malam itu, Nabi SAW membaca Alquran, dengan penuh kesedihan. Jin-jin pun berdatangan ikut menyimak bacaannya.

Di Wadi Nakhlah itulah, ‘Adas, seorang budak penganut Nasrani, iba melihat kondisi Nabi SAW. Begitu ‘Adas tahu, bahwa manusia di hadapannya itu adalah Nabi, dia cium sekujur tubuh mulia Nabi SAW. Demi memuliakan manusia yang paling mulia. Begitulah, ujian demi ujian yang dialami Nabi, setelah kepergian Abu Thalib dan Khadijah. []

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212

Labels: tsaqafah


Kasih sayang ibu lebih besar daripada ayah

ROKOK ROTAMA

<a href="https://www.gardukita.com/reff/Ahmadsobari"><img src="https://www.gardukita.com/img/banner/160x600.gif...